Selamat Datang…

Akhirnya punya blog lagi…

Setelah blog saya di blogger.com yang sudah terdaftar sejak tahun 2013 tidak bisa kembali, akhirnya saya mengaktifkan Blog ini yg sudah terdaftar sejak 2018.

Saya suka menulis, dan biasanya langsung diposting di social media. Tapi, seorang teman menyarankan saya untuk memiliki rumah sendiri. Agar bisa berselancar dengan nikmat, sambil ngopi, katanya.

Baiklah, ini sudah jadi. Semoga bermanfaat.

Featured post

Mengapa Jadi Wartawan?

“Saya tersesat”, itu jawaban saya dulu ketika ada teman yang bertanya mengapa saya menjadi seorang jurnalis.

*****
Hari bersejarah itu adalah hari Senin, saya sedang nongkrong sendirian di Jalan Pesanggrahan, samping kampus UIN Ciputat. Tepat dua hari setelah wisuda & sehari setelah saya melamar seorang gadis yang kini menjadi teman hidup saya selama 17 tahun.

Ya, memang sehari setelah wisuda, orangtua langsung mengajak saya melamar wanita yang sejak semester dua telah menjadi “teman dekat”.

Dan hari Senin itu bisa dikatakan saya sedang melamun, karena diberi deadline 6 bulan oleh orangtua untuk mencari pekerjaan, sebelum memasuki hari pernikahan.

Mendadak ada seorang teman, Wanto Sugito atau dikenal dengan nama Klutuk, menghampiri dan mengajak untuk menemaninya melamar pekerjaan di sebuah grup media massa ternama, Rakyat Merdeka Grup, yang merupakan media di bawah naungan Jawa Pos Grup.

Dia bercerita bahwa teman kita yang lain, Irfan Fahmi, batal untuk ikut melamar pekerjaan tersebut. Kini dia berprofesi sebagai seorang advokat yang handal, yang memang cita-citanya sejak awal.

Saya tidak punya modal apa-apa. Ijazah belum keluar, wisuda hanya mengantongi surat tanda kelulusan. Hanya dua lembar piagam pernah mengikuti pelatihan jurnalistik yang pernah diadakan PMII & HMI, dan sebuah tulisan opini yang pernah dimuat di media Indopos itulah yang tersimpan di kamar kos saya, yang berjarak dua puluh meter dari lokasi tersebut.

Pengalaman lainnya, pernah membuat media organisasi Forum Kota UIN bernama FBI (Fajar Baru Indonesia) beberapa edisi dan media internal jurusan di Fakultas Syariah.

“Itu saja sudah cukup,” kata Klutuk memaksa.

Awalnya saya enggan, tapi tak enak hati, karena dia ancam batal jalan, jika saya tidak mau ikut menemaninya ke Gedung Graha Pena hari itu.

Akhirnya, saya masuk rental komputer, mengetik secarik kertas lamaran kerja, dan mengambil beberapa dokumen penunjang, jadilah saya menemani Klutuk ke Graha Pena.

Setiba di sana waktu sudah agak sore, sejumlah kandidat lain sudah menunggu giliran wawancara, begitu juga kami berdua. Kami diminta mengisi psikotes, kemudian wawancara secara langsung dengan jurnalis senior media tersebut.

Saat wawancara langsung, ternyata sang pewawancara saya kenal, dia juga aktivis senior dari FKSMJ, kampus USNI, namanya Yusrizal, biasa kami memanggil Bang Yos. Dia membolak balik berkas yang saya sampaikan, ngobrol sejenak. Lalu, dia menyampaikan bahwa saya berpeluang lolos menjadi wartawan junior dengan pengalaman yang saya miliki, dan meminta saya kembali untuk datang hari Kamis untuk wawancara lanjutan dengan HRD.

Dari beberapa yang hadir, ada tiga orang yang akhirnya dipilih, Saya, Klutuk, dan seorang teman baru bernama Hadis. Kamis saya interview lanjutan dengan HRD, dan hari itu juga disampaikan bahwa saya masuk sebagai wartawan kontrak di Rakyat Merdeka Grup untuk Koran Harian Nonstop, bertugas sebagai reporter di desk politik.

Hari itu tak terlupakan, karena sejak hari itu, saya resmi “tersesat” menjadi seorang jurnalis. Padahal saat itu, Forum Kota memiliki agenda besar, yaitu Kampanye Golput Nasional. Saat itu tahun pemilu dan saya merupakan  Simpul Jaringan Nasional Forum Kota yang bertugas keliling sejumlah kota, basis jaringan Forkot untuk kampanye Golput. Makanya, ketika tahu saya diterima sebagai wartawan, ada yang menerima, ada juga yang kesal.
****

Kini sudah 17 tahun lamanya saya tersesat. Selama 17 tahun itu banyak sekali “godaan” untuk loncat alih profesi, ajakan gabung ke partai politik, LSM, konsultan, menjadi dosen, sudah pernah saya lalui. Tapi ternyata sampai hari ini saya tidak pernah ketemu “pintu keluar” dari “tersesat” ini.

Terkadang “tersesat” itu tidak selalu tidak menyenangkan. Ada yang bilang “tersesat” adalah proses menuju tujuan sebenarnya. Karena hidup hanya sekali, kalau langsung menuju tujuan rasanya tidak asyik tanpa “tersesat”.

Kata Putu Wijaya, “Mereka mengira tersesat itu selalu berarti salah, padahal tersesat itu adalah jalan untuk menemukan kebenaran yang lebih sejati”.

“Orang yang pernah mendapati dirinya di tempat yang menarik, adalah ia yang tersesat, ” kata Henry David Theoreau, filsuf Amerika Serikat.

Jadi jangan takut tersesat, karena bisa jadi tempat Anda tersesat adalah tempat yang paling menarik yang dipilihkan Tuhan untuk anda.

Selamat Hari Pers

Pamulang, 9 Februari 2021

Mencapai Satu Juta

Tadi malam megaphone masjid dekat rumah berkumandang, bukan mengumandangkan adzan karena waktu Isya sudah dua jam terlewat. “Berita duka cita, Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun….”. Sebuah pengumuman warga yang meninggal dunia dikumandangkan.

Sebuah keluarga hanya bisa menatap dari jauh pemakaman anggota keluarga mereka yang meninggal Karena Covid 19

Pengumuman ini belakangan menjadi sering. Saya menghitung, dalam sepekan pengumuman itu berkumandang minimal tiga kali. Pernah salah satu pengumuman menyampaikan penyebab meninggal dunia, “Meninggal dunia Karena Covid”. Yang menurut saya & istri agak kurang etis, tapi khusnudzon kami, sang pemberi pengumuman, berharap warga lebih waspada.

Ini baru pengumuman di masjid, belum lagi pengumuman melalui sosial media, Facebook. Beberapa hari lalu, akun seorang kolega yang sudah bertahun tidak bertemu, tertuliskan, “Mohon dibukakan pintu maaf, pemilik akun ini baru saja meninggal dunia setelah dirawat Karena Covid 19”.

Maria Velez dari Orlando, AS memeluk nisan anaknya, Stephen yang meninggal Karena Covid 19.

Data Desember 2020, PBNU mencatat periode Pandemi Maret-Desember, sebanyak 234 kyai & tokoh Nahdlatul Ulama meninggal dunia. Angka ini enam kali lipat ketimbang tahun sebelumnya, saat tak ada Pandemi Covid 19.

Begitu juga Tenaga Kesehatan, IDI mencatat masa Pandemi hingga Desember 2020, tercatat 507 tenaga kesehatan meninggal dunia. 228 orang di antaranya adalah dokter.

Belakangan ruang ICU seluruh Rumah Sakit di Jakarta penuh. Bahkan TPU khusus Covid 19 di Srengseng Sawah Penuh, TPU Bambu Apus juga diperkirakan sebulan lagi penuh.

Data Satgas Covid 19 per 29 Januari 2021 menyebutkan bahwa kasus Covid 19 di Indonesia telah mencapai 1,04 juta, jumlah pasien meninggal mencapai 29,331 orang, dan pasien sembuh 842 orang.

Di sisi lain masih ada sebagian masyarakat tidak percaya, bahkan menganggap Covid 19 sebagai konspirasi dengan segala pembenarannya. Data BPS November lalu mencatat 17 persen WNI tidak percaya dengan adanya Covid 19. Angka 17 persen itu seolah terlihat sedikit, jika dikonversi dengan jumlah masyarakat Indonesia, angkanya mencapai 44,9 juta jiwa.

Lalu kenapa mereka tidak percaya Covid 19? Pertama, masyarakat lebih percaya dengan yang tampak. Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengatakan masyarakat umumnya percaya kepada penyakit yang tampak secara kasat mata, misalnya seperti Cacar & Campak, meskipun sama-sama berasal dari virus.

Makanya, kebanyakan orang yang tadinya tidak percaya atau ragu, baru menerapkan protokol kesehatan ketika ada keluarganya, kolega, dan tetangga dekat yang positif, baik sekedar dirawat apalagi meninggal dunia. Jika tidak, maka ketidakpercayaan mereka masih tinggi.

Kedua, informasi hoaks. Dalam teori komunikasi ada yang namanya uses and gratification. Di mana seseorang memilah informasi untuk memenuhi kepuasan mereka secara psikologis, sosial, hingga ideologis. Tidak penting fakta & kebenarannya. Di tengah sisa-sisa kekecewaan hasil pemilu Presiden, masih banyak orang tidak percaya apapun yang keluar dari pemerintah yang tidak mereka pilih. Sebaliknya, informasi yang mendegradasi, mendelegitimasi, menjelekkan, akan mereka terima & sebarkan secara semangat, sekali pun itu tidak benar, palsu, atau bohong. Makanya, hoaks selalu mendapat tempat utama di hati mereka, selama memenuhi hasrat psikologis hingga ideologis mereka.

Ketiga, menutupi rasa cemas. Eve Whitmore, psikolog klinis Ohio Amerika Serikat melihat penyangkalan terhadap Covid 19 sebagai konstruksi psikologis dalam menghadapi realitas. Cara orang bertahan dalam kondisi cemas adalah penyangkalan. Orang seperti ini, sedang mencoba melindungi diri dari rasa cemas, dengan menciptakan rasa aman palsu kepada dirinya.

Yang berbahaya adalah ketika rasa aman palsu tersebut dipertahankan untuk waktu yang lama, dan mencoba mengajak orang lain memercayainya.

Hasil penelitian akademisi Fakultas Ilmu Administrasi UI yang tergabung dalam Center for Innovative and Governance (CIGO), mengungkap latar belakang orang yang tidak percaya Covid 19 & menganggapnya sebagai konspirasi kebanyakan berpendidikan SMP-SMA dan berpenghasilan di bawah 5 juta rupiah per bulannya. Sedangkan yang percaya Covid 19 adalah sebaliknya.

Ada yang bilang kuncinya literasi, ada yang mengatakan kuncinya adalah komunikasi pemerintah dalam mengatasi Covid 19, dan banyak lagi. Menurut saya semua hal tersebut sangat penting.

Tapi yang lebih penting bagi saya adalah sikap personal, sikap pribadi kita. Jika tidak percaya konspirasi, percaya Covid 19 itu sangat nyata, buktikan!. Jangan hanya diam.

Sampaikan, ya sampaikan, minimal sampaikan di setiap timeline sosial media Anda bahwa Covid 19 itu nyata dengan cara Anda masing-masing, baik budayawan dengan seni budayanya, pakar ekonomi dengan dampak ekonominya, pendakwah dengan religiusitasnya.

Jangan sampai megaphone di masjid-masjid terus mengumandangkan nama-nama tetangga, kolega, keluarga Anda karena baru saja meninggal dunia karena Covid 19.

“Sebaik-baiknya perubahan adalah tindakan. Dan sekecil-kecilnya tindakan dimulai dari diri Kita sendiri”.

****
Syukri Rahmatullah
Pamulang 300101

Konspirasi Pembodohan

Pasukan Amerika Serikat dan Kanada tahun 1943 pernah bersama-sama menyerbu Pulau Kiska, di Alaska. Mereka bertekad merebut pulau tersebut dari pendudukan Jepang. Penyerbuan dilakukan dengan ganas, 1 bulan lamanya pulau tersebut dibombardir dengan 754 ton bom. 424 ton dari udara & 330 ton dari lautan.

Setelah sunyi, puluhan ribu pasukan AS & Kanada menyerbu dari arah yang berlawanan. Suasana gelap dengan kabut tebal menyelimuti penyerbuan, senjata menyalak, bom ranjau bersahutan. Mereka bertempur dengan ganas selama beberapa hari, menembak ke segala penjuru, 313 orang tentara tercatat menjadi korban tewas. Belakangan diketahui ternyata tidak ada tentara Jepang di Pulau tersebut. Tentara Jepang telah pergi dari pulau tersebut, 3 pekan sebelum penyerbuan. Ternyata pasukan Amerika Serikat & Kanada saling menembak.

Kejadian tersebut menjadi peristiwa terbodoh di balik kehebatan pasukan sekutu memenangkan perang dunia kedua. Penyebabnya, mereka tidak memiliki data dan informasi yang valid.Cerita ini menjadi relevan melihat peristiwa belakangan ini. Banyak orang-orang populer bicara lantang melalui media sosial mereka tanpa memiliki keilmuan, data, hingga sumber yang valid.

Bicara soal teori konspirasi, bicara soal agama, bicara soal pandemi tapi tidak memiliki data, tidak memiliki pengetahuan, membawa narasumber tapi latarbelakangnya tidak jelas.

****

Sebulan lalu, seorang teman memposting di grup alumni sebuah foto yang disebutnya adalah obat herbal untuk Covid 19. Khawatir informasi tersebut ditelan bulat kawan yang lain, saya pun mengingatkan. Saya ingatkan saat itu bahwa belum ada vaksin atau pun obat yang sudah ditemukan terbukti sebagai obat Covid 19. Semua lembaga kesehatan dari berbagai negara melakukan penelitian & uji klinis. Kawan tersebut pun terdiam.

Terbaru ada seorang selebriti mewawancara seseorang yang mengaku Profesor dan telah menemukan obat herbal untuk pasien Covid 19. Dia mengaku dengan 2-3 hari mengonsumsi obat herbal tersebut, pasien bisa sembuh. Sang profesor bernama Hadi Pranoto, mengaku sudah menyebarkan obat tersebut ke berbagai daerah, termasuk Wisma Atlet, pusat perawatan pasien Covid 19.

Ironi, informasi tersebut tidak valid. Gugus Tugas Covid 19 tidak mengenal Hadi Pranoto, begitu juga petugas Di Wisma Atlet. Bahkan, Dikti juga mengecek data, tidak ada nama Profesor atau pakar Mikrobiologi bernama Hadi Pranoto.Media mengenali, Hadi Pranoto pernah tampil di media sebagai perwakilan keluarga Abah Surya Atmaja yang viral karena menampilkan Rhoma Irama dalam acara sunatan di Bogor, padahal tengah berlangsung PSBB.

***

Sebenarnya, secara pribadi saya senang banyak selebriti tampil di media sosial bak seorang jurnalis handal mewawancarai banyak tokoh, banyak pihak terkait isu-isu aktual. Tapi, sayang belakangan yang diutamakan adalah kehebohannya, viralnya, click bait-nya ketimbang kebenaran itu sendiri.

Banyak hal menurut saya yang disampaikan menjauh kebenaran, dari bicara soal agama, konspirasi, hingga politik. Dan itu semua lebih cepat viral dengan status selebriti yang mereka sandang.

Ada artis yang bergaya menyebut Mantiq, Balaghah, hingga tasawuf, padahal dia tidak ngerti soal itu. Ada juga yang bicara soal konspirasi, tapi dasarnya asumsi bukan data-fakta.

***

Alphabet Inc, saham induk Google merilis kuartal I/2020 pendapatan mereka meningkat di tengah Pandemi Covid 19. Sebesar USD33,71 miliar (Rp471 triliun, kurs 14.000), meningkat 14 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Di dalam angka tersebut terdapat peningkatan pendapatan YouTube sebesar 33 persen.

Sepanjang tahun 2019, pendapatan YouTube dari iklan di seluruh dunia mencapai USD15 miliar atau sekitar Rp205 triliun. Kuartal terakhir 2019 YouTube mendapatkan USD4,7 miliar atau Rp64,5 Triliun.Angkanya fantastis bukan? Makanya, saat ini menjadi YouTuber merupakan pekerjaan utama seorang selebriti, tampil di televisi hanya untuk menjaga eksistensi saja.Tidak ada yang keliru mencari uang dari iklan YouTube. Tapi, yang keliru adalah mencari uang tersebut dengan cara membodohi orang lain, membuat konten-konten pembodohan.

Hemat saya, yang seperti ini berbahaya untuk masa depan bangsa, apalagi banyak anak-anak muda, millenials lebih suka belajar dari YouTube.Yang seperti ini seharusnya juga menjadi fokus ‘gerakan moral’ tokoh-tokoh yang baru saja deklarasi ingin menyelamatkan bangsa (dibaca: Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Tapi, sebagaimana sejarah berulang, seringkali ‘tokoh-tokoh’ berkumpul ‘titik tembak’-nya adalah kekuasaan, moral hanyalah kemasan.Bagaimana dengan rakyat? Ya, pada akhirnya, rakyat harus berjuang sendiri melawan pembodohan dengan cara-cara baru seperti ini. Entah sampai kapan.

*******

Syukri Rahmatullah, Pamulang, 3 Agustus 2020

Ketidakadilan Belajar Online

INI cerita tentang Bunga. Pelajar Madrasah Ibtidaiyah yang menangis saat majikan ibunya bertanya kesiapannya untuk sekolah besok. Ya, besok (saat itu) adalah hari Senin 12 Juli 2020, tahun ajaran sekolah 2020-2021 dimulai secara daring karena covid 19.

Pasalnya, dia tidak tahu bahwa sekolah sudah dimulai esok hari. Begitu juga dengan ibunya, yang bertugas menjadi ART di rumah tersebut. Gelap rasanya, tidak mendapatkan informasi apapun tentang sekolahnya. Dia membayangkan teman-temannya riang bersekolah setelah libur lama, sementara dia, buku & seragam sekolah pun belum dia miliki. Menangislah Bunga.

Usut demi usut, ternyata sang ibu tidak mengikuti informasi di grup whatsapp sekolah anaknya. Bukan karena tidak peduli, tapi karena memang ibunya tidak mengerti menggunakan teknologi canggih bernama “WhatApp” di ponsel jadulnya.

Kisah Bunga bukan satu-satunya. Dia hanya salah satu dari siswa di DKI Jakarta yang merasakan semakin “gelap”-nya dunia pendidikan di era pandemic covid 19, dengan status ekonomi yang disandangnya.

Tadi pagi saya juga menonton televisi, ada seorang nenek di daerah Tebet yang pagi-pagi mengantar kedua cucunya mengenakan seragam sekolah merah putih lengkap, tapi bukan pergi ke sekolah. Dia mengantar cucunya ke rumah tetangga, hanya untuk “menyewa” ponsel agar kedua cucunya bisa mengikuti sekolah secara daring. Dia membayar sejumlah uang sebagai pengganti pulsa untuk pemilik handphone.

Ada lagi cerita sekolah ibu penjual gorengan, yang terpaksa membeli lebih banyak kuota data agar anaknya bisa bersekolah daring. Itu pun, dia tidak mengerti menjalankan teknologi sekolah daring tersebut.

Tak hanya orangtua, siswa sekolah daring yang harus membaca dan memahami pelajaran-pelajaran baru tanpa ada guru di sampingnya, juga menjadi derita tersendiri. Beruntung jika orangtua murid mengerti atau minimal mau belajar memahami, bagaimana jika orangtuanya tak tamat sekolah SD?.

Cerita lain, dari seorang guru berusia di atas 45 tahun yang menggunakan zoom saat sekolah daring tapi tidak mengerti fitur mute, agar murid-muridnya mendengarkan saat dia berbicara. Alhasil, sekolah daring menjadi ‘ramai’ karena semua suara anak-anak terdengar di dalam zoom. Guru tersebut juga terpaksa menambah belanja kuota bulanannya, karena hanya mendapat insentif Rp50 ribu dari sekolah.

Ini semua cerita dari Jakarta, yang saat ini masih menjadi Ibu Kota, pusat pemerintahan, pusat ekonomi, dan bisnis. Entah bagaimana cerita pilu lainnya di luar Jakarta atau daerah terpencil yang harus naik ke atas pohon untuk sekedar mendapatkan sinyal yang baik.

Semua cerita ini menggambarkan bahwa sekolah online bukanlah hal yang tepat untuk dijalankan di dalam dunia pendidikan. Ada dua masalah besar dalam sekolah online. Pertama, SDM atau penguasaan teknologi yang sangat tidak merata baik dari orangtua murid hingga guru di sekolah.

Mungkin ada yang bicara “sekarang saatnya dipaksa berteknologi, adaptasi dengan teknologi,”. Silakan anda bicara dengan seorang Nenek di Tebet tadi, yang mengasuh dua cucu tanpa orangtua. Di satu sisi dia harus mencari uang untuk menghidupi dirinya dan kedua cucunya, di sisi lain dia harus belajar teknologi, seperti dalam angan-angan anda.

Coba juga Anda harus bicara dengan ibunya Bunga, seorang ART yang setiap harinya berjibaku dengan pekerjaan rumah majikannya, dari membersihkan rumah, mencuci, menyetrika, memasak dll.

Masalah kedua adalah masalah ekonomi. Mungkin Anda adalah pelanggan Internet unlimited di rumah, data mobile ponsel anda Rp100-200 ribu perbulan. Tapi, pernah gak saat mampir ke counter pulsa, Anda melihat masih ada yang beli pulsa Rp5,000 atau Rp10,000, hanya agar nomor ponselnya tidak hangus. Kini mereka harus mengocek kantong lebih dalam agar anaknya bisa mengikuti sekolah daring. Bagaimana kalau anaknya yang sekolah lebih dari satu atau dua orang?.

Sekali lagi, sekolah daring saat ini hanya menjadi solusi untuk orang-orang yang berkecukupan secara ekonomi. Bukan mereka yang tengah berjuang untuk sesuap nasi untuk keluarganya setiap hari.UUD 1945 pasal 31 ayat 1: menyebutkan bahwa Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan Pendidikan, dan pasal 2: Setiap Warga Wajib Mengikuti Pendidikan Dasar dan Pemerintah Wajib Membiayainya.

Jika benar kementerian pendidikan masih mengikuti amanah UUD 1945, seyogyanya ada sebuah terobosan yang solutif bagi seluruh masyarakat dalam mendapatkan pendidikan yang layak di tengah covid 19.26 Mei lalu saya menulis di timeline FB ini; “we are not in the same boat but we are in the same storm. Do not curse them, but do more simpathyze”. Kita tidak berada di perahu yang sama, tapi kita menghadapi badai yang sama. Jangan mengutuk atau mencela, tapi bersimpatilah kepada mereka.

Saya bilang ke teman, kenapa tidak sekolah tatap muka tetap dilakukan tapi dengan memenuhi standar protocol Covid 19? Sekolah secara bergiliran, tidak harus masuk tiap hari, tapi memperbanyak pekerjaan rumah untuk mengeksplore pelajaran dari sekolah. Jumlah kurikulum disesuaikan dengan kondisi pandemi Covid 19, tidak disamakan dengan situasi normal. Entah lah.

Sudah cukuplah ketidakadilan dalam pendidikan hanya ada di era penjajahan Belanda. Sejatinya tujuan pendidikan adalah untuk membebaskan & membahagiakan, dan itu hanya bisa diraih dengan menciptakan keadilan dalam mendapatkan pendidikan.

Hidup Rakyat!

Syukri RahmatullahKebon Sirih, 15 Juli 2020.

Kamu Kok Marah…

Belakangan ini masyarakat disajikan pemberitaan yang isinya tentang marah-marah. Pelaku kemarahan dari level tertinggi hingga level terendah di republik ini.

Misalnya, Presiden Jokowi yang marah-marah dengan kinerja menteri selama Pandemi Covid. Banyak kementerian tidak menjalankan anggaran yang telah disediakan dengan maksimal.

Tapi, yang unik video kemarahan tersebut baru diunggah 10 hari setelah kejadian. Apa tujuannya politiknya?Ada juga anggota DPR Partai Demokrat M Nasir yang marah-marah hingga mengusir Dirut Mind.ID Orias.

Alasannya, karena Orias tidak lengkap membawa data tentang penerbitan utang Mind.ID yang jatuh tempo hingga 30 tahun.

Secara “bungkus” isu yang diangkat memang menarik, soal Utang. Tapi, sebelum minta kelengkapan, alangkah baiknya anggota DPR juga lengkap kehadirannya saat rapat-rapat RDP dong.

Menko Kesra Muhajir pernah marah juga dengan tingkah “seenaknya” DPR, bertanya saat RDP tapi saat dijawab malah “menghilang” dari ruang rapat dengan berbagai alasan. Selama bertugas sebagai jurnalis selama 16 tahun, sudah ribuan kali saya mendengar “tingkah seenaknya” anggota DPR.

Nasir sebenarnya benar banget ketika menyebut BUMN itu bukan milik nenek moyang seseorang. Tapi, tegaskan dong bahwa DPR juga bukan milik “nenek moyang” kalian, wahai anggota DPR!! Jangan seenaknya juga kalau bekerja!!Marah lainnya ditunjukkan Risma dengan cara bersujud. Dia sujud hingga menangis saat mendapat kritik dari IDI Surabaya dalam penanganan rumah sakit terkait Covid 19.

Banyak keterbatasan yang dimiliki Risma sebagai seorang walikota, yang dia ungkap salah satunya mengakses RSUD Dr Soetomo.

Di level masyarakat juga terdapat kemarahan. Di Lombok Tengah, Mahsun marah dengan ibunya hingga melaporkan ke polisi hanya Karena persoalan motor. Motor tersebut adalah pemberiannya kepada ibu atas penjualan tanah warisan Ayahnya.Tapi beruntung ada seorang Kasat Reskrim masih muda tapi punya pendirian untuk tidak menindaklanjuti kasus tersebut.

Seandainya marah bisa menyelesaikan masalah, mungkin rumah sakit akan dipenuhi dengan pasien sakit jantung, stres, hingga stroke. Menurut ilmu kedokteran, marah dapat memicu otot menjadi tegang, pencernaan terganggu, hingga perubahan kimia pada otak.

Penyelesaian masalah bukan dengan marah. Apalagi bagi seseorang yang punya kuasa. Dalam tulisan saya sekitar setahun lalu, saya mengaku tidak suka dengan Ahok saat memimpin DKI karena sering marah & mengumpat kata kotor.

Orang bijak bilang kemarahan bukanlah kekuatan, melainkan kelemahan, itu benar. Banyak orang marah untuk menutupi kelemahan. Kalau anak buah Anda tidak cakap bekerja, langsung saja panggil, evaluasi, perintahkan dia untuk berubah, jika tidak bisa ya ganti saja dengan yang lain.Apalagi jika orang tersebut sepenuhnya diangkat & diberhentikan oleh Anda.

Tapi kalau ada orang marah menyuruh kita untuk disiplin sementara dia tidak disiplin, misal seperti anggota DPR, baiknya tidak usah digubris, peduli, geblek saja kalau diambil hati. Yang penting bagi rakyat bukan soal marahnya, tapi hasil. Karena Anda semua digaji dengan pajak rakyat untuk menghadirkan hasil yang lebih baik untuk rakyat.

Kalau kalian semua marah-marah, kapan rakyat bisa marah sama kalian yang kerjanya gitu-gitu saja. Atau jangan-jangan marahnya untuk menutupi kelemahan kinerja ya, hayoo ngaku…

Udah gitu saja….

Syukri RahmatullahPamulang 2 Juli 2020

Kritik Bintang Emon Vs Kritik Politikus

“Saya kira hanya akan sendirian..” tulisan pendek Bintang Emon saat membuka kembali akun Twitternya membuat saya tersentuh. Komika pemberani ini sempat merasa sendirian saat menghadapi “serangan balik” atas kritiknya terhadap “dagelan hukum” JPU Kasus Novel Baswedan.

Adalah Fedrik Adhar Syarifuddin, JPU kasus Novel Baswedan yang menyebut penyiraman air keras kedua tersangka dilakukan secara TIDAK SENGAJA, sehingga JPU hanya menuntut 1 tahun penjara. Bukan mendapatkan apresiasi, Bintang Emon justru “diserang balik” disebut pecandu narkoba hingga dilaporkan seorang kader partai ke Menkominfo.

Serangan balik seperti ini seringkali terjadi ketika seseorang memberanikan diri melakukan perubahan baik di masyarakat atau pun di birokrasi.

Sayangnya pemberani seperti ini seringkali tidak mendapatkan perlakukan yang sama. Kritik Bintang Emon yang sangat berani ini tidak membuat dirinya dipanggil ke Istana Negara & diajak berdiskusi empat mata. Tidak seperti Politikus yang tengah gencar “mengkritik” BUMN dengan berbagai macam narasi, yang langsung dengan cepat dipanggil ke Istana Negara. Bicara empat mata.

Bintang sudah pasti tidak pernah berharap atau memiliki motivasi dipanggil ke Istana dengan kritiknya tersebut. Meski begitu, hari ini saya melihat Bintang telah mendapat tempat spesial di “Istana Rakyat”.Jika saya sebagai pemimpin redaksi ditanya dalam sebuah rapat redaksi, kritik mana yang layak mendapatkan highlight pemberitaan, karena memperjuangkan kepentingan masyarakat luas. Saya sudah tentu akan menjawab “Kritik Bintang Emon”.

Kenapa? Karena semua pasti setuju Bintang Emon mengkritik atas dasar kejujuran, bukan kepentingan politik, apalagi kepentingan “perut” kelompok tertentu. Dia sudah pasti tidak mengincar jabatan direksi apalagi komisaris.Pemberani yang jujur tidak akan pernah mati. Dia akan tetap hidup, bahkan suaranya terasa lebih keras sekalipun di balik jeruji atau batu nisan.

Jayalah para pemberani!

Pamulang 16 Juni 2020Syukri Rahmatullah

Kursi Panas Erick Thohir

SUATU waktu sebelum Pandemi Covid 19, saya terlibat obrolan dengan seseorang yang kebetulan aktif di BUMN. Banyak obrolan di antaranya terkait sepak terjang Menteri BUMN yang belum lama dilantik, Erick Thohir.

Salah satu obrolannya adalah terkait revitalisasi BUMN yang menjadi fokus Erick Thohir. Makanya, banyak perusahaan BUMN yang mengalami evaluasi secara serius yang berbuntut evaluasi posisi direksi, komisaris, hingga keberadaan perusahaan tersebut.

Memang perusahaan BUMN yang mencapai 142 perusahaan sangat lah gemuk, apalagi dari 142 perusahaan tersebut, BUMN hanya menghasilkan Rp210 triliun untuk negara, yang sumbangan terbesarnya, 76 persen hanya dari 15 perusahaan saja, yang bergerak di keuangan, telekomunikasi, dan oil gas.

Sisanya, banyak yang mengalami megap-megap, merugi, hingga nyaris “almarhum”.

Padahal aset negara di satu perusahaan saja, sebut saja PLN sudah mencapai Rp1,379 triliun, belum lagi 141 perusahaan lainnya. Sangat tidak sebanding.

Banyak catatan tentang BUMN, dari anak & cucu perusahaan yang tidak fokus dengan perusahaan induk, tumpang tindih, hingga pejabat yang memimpin di perusahaan tersebut tidak memiliki kecakapan & integritas dalam menangani perusahaan.

Sebagai orang yang sejak 2004 berada di perusahaan swasta di dua grup besar media, saya banyak melihat & belajar bagaimana menangani sebuah perusahaan bermasalah atau “bleeding” di dalam sebuah grup besar. Banyak strategi yang harus segera dilakukan, mulai dari restrukturisasi, efisiensi, konsolidasi, shifting, hingga likuidasi sebuah perusahaan seringkali dilakukan agar grup tidak terseret ke zona merah.

Tapi melakukan perubahan BUMN jauh lebih sulit dibanding swasta, karena sarat kepentingan politik & birokrasi di dalamnya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa BUMN seringkali menjadi tempat “bancakan”, “titip-menitip” nama untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Contohnya ada direksi yang merangkap menjadi komisaris di enam perusahaan BUMN lainnya. Banyak komisaris yang tidak punya pengalaman & kapabelitas.

Saat Erick Thohir melakukan restrukturisasi di BUMN, saya sudah menebak dia pasti akan mendapatkan perlawanan sangat sengit. Bahkan, seorang teman pemimpin redaksi lain sempat memprediksi bahwa Erick hanya akan bertahan setahun saja di BUMN.

Dahlan Iskan pernah mendoakan agar Erick selamat dari jerat birokrasi & aksi balas dendam pihak-pihak yang tidak senang dengan restrukturisasi di BUMN.

Pernyataan Dahlan cukup beralasan, karena Menteri BUMN merupakan kursi yang sangat panas. Sejarah mencatat, saat Gus Dur mencopot Laksamana Sukardi, justru Gus Dur yang kemudian dilengserkan secara politik dari kursi Presiden.

Dahlan Iskan juga setelah tidak menjabat menteri BUMN, harus menghadapi masalah hukum hingga akhirnya diputus bebas Mahkamah Agung.

Belum lagi cerita Rini Soemarno yang diboikot DPR sejak Desember 2015 hingga Akhir masa jabatannya.

Erick Thohir akan melakukan restrukturisasi besar-besaran di BUMN. Banyak perusahaan yang sakit akan dilikuidasi, saat ini saja dari 142 perusahaan sudah menjadi 107, rencananya tahap kedua, Akan lebih ramping lagi menjadi 70-80 perusahaan saja.

Kemudian, jumlah direksi akan dipangkas, sudah dilakukan di Pertamina, menyusul Telkom, dll. Dengan konsep klusterisasi, ada perusahaan pemimpin Cluster, ada juga perusahaan menjadi anggota Cluster. Setiap perusahaan anggota Cluster hanya diperkenankan memiliki seorang direktur, jumlah komisaris juga akan dipangkas.

Dengan restrukturisasi ini, BUMN yang selama ini gemuk akan dibuat lebih ramping. Banyak efisiensi akan terjadi. Tapi sekali lagi, pasti akan banyak orang yang sakit hati & balas dendam terhadap Erick.

Saya tidak kenal Erick Thohir secara langsung, apakah dia anak gedongan atau anak jalanan. Anak gedongan bisa berbuat jahat, begitu juga dengan anak jalanan. Tidak jaminan.

Saya diajarkan untuk melihat seseorang dari tindakannya, bukan sekedar ucapan apalagi latar belakang. Jika tindakan orang tersebut berani menghadapi & mengambil resiko dalam melakukan perbaikan bangsa ini tentu harus diapresiasi, bahkan jika perlu dibela.

Indonesia membutuhkan lebih banyak orang-orang yang berani dalam melakukan perubahan & perbaikan, meskipun dia tahu akan mendapatkan resiko perlawanan sengit hingga terancam posisinya.

Orang bijak pernah bilang;

“Saat ahlul haq berdiam diri terhadap kebathilan, maka ahlul bathil akan merasa mereka di dalam kebenaran”.


Pamulang 16 Juni 2020
Syukri Rahmatullah

“Baru buka kemarin Pak”

Jawab seorang pramusaji saat saya tanyakan mulai kapan restoran ini mulai buka dan memperbolehkan makan di tempat.

Saya pun menanyakan bolehkah Kami berlima untuk makan Di tempat?

“Boleh Pak, asalkan jaga jarak”

Saya kemudian melihat setiap meja hanya diperbolehkan dua orang, dua bagian meja lainnya diberikan tanda silang, pertanda tidak boleh ditempati.

Di restoran tersebut, saya melihat empat orang pramusaji termasuk seorang kasir sibuk bekerja. Di bagian dapur saya melihat, sekira ada 4 atau 5 orang sibuk memasak, memenuhi pesanan para pembeli.

Hampir setiap meja dipenuhi dua orang yang duduk mengenakan masker. Kami pun memilih tempat yang agak sedikit sepi, karena berlima artinya Kami harus duduk di tiga meja terpisah.

Sumringah saya melihat para pekerja di restoran tersebut sibuk bekerja, tidak dirumahkan lagi sang pemilik restoran.

Dalam hati berharap semoga New Normal ini dapat dijalani dengan tertib, agar kesehatan tetap terjaga, ekonomi tetap bergeliat.

Jika semua tertib dan berlangsung lancar, kita bisa lebih segera lagi memasuki era The Next Normal. Apalagi itu The Next Normal? Nanti, saya buat tulisan lebih lengkapnya ya, soalnya Nasi Goreng Kambing saya sudah menunggu untuk disantap.

Yuk makan…

Syukri Rahmatullah, 6 Juni 2020

Saat Bu Susi Tak Menyerah

Selama Pandemi Covid-19, banyak perusahaan gulung tikar, banyak karyawan di-PHK, tidak sedikit juga yang gajinya dipotong hingga 50 persen.

Pasti ada kemudahan di balik kesulitan.
Bagaimana cara menemukan kemudahan, salah satunya adalah belajar dari orang-orang yang telah melewati kesulitan.

Salah satunya adalah Susi Pudjiastuti. Wanita tangguh yang satu ini Akan bercerita banyak, bagaimana menghadapi kesulitan-kesulitan di dalam membangun bisnis & kehidupan.

Seperti apa?, Ikutin besok Siang jangan lupa di Break Time, IG Live @idx_channel @susipudjiastuti115

https://youtu.be/Sr6Ih6nTFNY

Saat Covid 19 Tidak Berlalu

“Sekarang mah yang penting cari duit tapi tetap waspada, sama ikhtiar bang,”

Tukang cukur rambut di kawasan Aria Putra, Ciputat, itu memberi penegasan kepada saya ketika kami mengobrol tentang kondisi ekonomi tukang pangkas rambut. Dia baru seminggu bekerja kembali setelah sebulan lebih “diliburkan” bos-nya.

Selama sebulan lebih, dia menjalani PSBB bersama istri dan anaknya di kontrakan mengandalkan uang tabungan yang sedikit, hingga akhirnya terpaksa pinjam duit untuk sekedar bayar kontrakan dan makan istri serta anaknya.

Saya yakin cerita ini tidak satu-satunya. Banyak yang bernasib seperti tukang cukur ini selama masa pandemic covid 19.

Dua bulan lebih masa pandemic covid 19 sudah berlangsung. Kini sudah banyak usaha yang terpaksa mulai buka demi mendapatkan pundi uang untuk melanjutkan kehidupan dapur mereka.

Itu cerita ekonomi kelas bawah. Di level ekonomi kelas atas, saya juga mendengar banyak pengusaha mulai resah dengan situasi yang sepertinya tidak berujung. Mereka berhitung, jika situasi terus berlangsung hingga Juli ke atas, maka tidak tertutup kemungkinan semakin banyak perusahaan tutup dan jumlah PHK akan semakin meningkat tajam.

Subsidi pemerintah sendiri yang sudah dianggarkan hanya sampai bulan Oktober 2020. Lalu, bagaimana dengan selanjutnya? Sementara pandemic covid 19 diperkirakan masih berlangsung dampaknya hingga akhir tahun 2021. Itu pun dengan catatan, vaksin sudah mulai ditemukan dan dipasarkan sejak awal tahun 2021.


Ketiga anak saya, Nanda, Zee, dan Azzam, setiap diminta berdoa usai salat wajib, selalu menyelipkan doa agar Pandemi Covid 19 ini segera berakhir, agar mereka bisa bermain dan bersekolah kembali seperti sebelum covid.

Namun, dalam hati saya berpikir itu tidak mungkin bisa persis seperti dulu lagi.

Pandemi Covid 19 ini akan membawa kita dalam sebuah situasi terbaru, tidak lagi seperti dahulu. WHO hingga Jokowi sudah memberi sinyal “Berdamai dengan Covid”. Banyak yang menyebut kita akan mendapati sebuah situasi terbaru, yang disebut The New Normal.

Dalam bahasa ekonomi namanya The New Equilibrium atau keseimbangan baru. Tahun 1971 kurs dollar adalah Rp378-420 per dollar AS. Hingga di penghujung Orde Baru tahun 1997, kurs mencapai 2.500-2.650, krisis ekonomi 1998 saat itu membuat terus merangkak hingga Rp16.800. Hari ini dollar 14.800. Mungkinkah dollar kembali ke 2.500 atau Rp378, jawabannya sangatlah sulit, karena kita sudah berada di dalam sebuah keseimbangan baru.

Begitu juga dengan kehidupan The New Normal tadi. Tidak mungkin kita semua dan selamanya bekerja dan belajar dari rumah. Pernyataan Berdamai dengan Covid 19 adalah sebuah sinyal kuat bahwa masyarakat harus melakukan adaptasi dengan situasi. Begitu juga setiap sector dan lini bisnis.


The New Normal

Tadi saya menonton berita, masjid di Pakistan dan Senegal sudah dibuka kembali setelah lockdown selama 3 bulan. Di negara lain sekolah-sekolah, perkantoran sudah mulai dibuka kembali. Apakah di negara tersebut masalah covid 19 sudah selesai, jawabannya belum. Mereka masih berjuang melawan covid 19 seperti kita di Indonesia.

Mereka tetap berjuang melawan covid 19 dengan cara baru. Tidak hanya diam di rumah, pelan-pelan membuka keran aktivitas, tapi tetap menjalani prosedur kesehatan covid 19. Misalnya, masjid di Pakistan dan Senegal melakukan salat berjamaah tapi dengan menjaga jarak, tidak rapat berdekatan seperti sebelumnya dan tetap mengenakan masker. Sebelum masuk masjid harus dicek suhu tubuh dan mencuci tangan terlebih dahulu. Yang suhu tubuhnya tinggi, tidak diperkenankan masuk masjid.

Begitu juga dengan sekolah, murid-murid mengenakan masker, mencuci tangah sebelum masuk, dan tidak bersentuhan tangan dengan guru-guru mereka saat masuk sekolah atau pun kelas.

Semua pihak dari masing-masing sector harus berpikir keras bagaimana caranya agar usaha mereka tetap jalan, tapi tetap menjalani PSBB, prosedur kesehatan covid 19.

Dalam obrolan santai dengan teman, misalnya sebuah restoran, bisa saja dia tetap buka tapi dibatasi pengunjung dan pekerjanya. Tetap menjaga jarak. Tidak boleh sampai terlalu ramai, apalagi berdesakan. Begitu juga dengan unit bisnis lainnya. Karena pada akhirnya, roda ekonomi harus tetap berjalan walau lambat, jika tidak ingin krisis ekonomi lebih berat menghantam di depan. Ada yang ekstrem bilang, pemerintah dengan kondisi keuangan seperti ini tidak bisa melewatinya.

Maskapai penerbangan, yang sudah dibuka sejak beberapa hari lalu juga mulai mempraktekkannya. Walau harus diperbaiki lagi, karena sempat ada penumpukan di bandara dan viral di media social.

Saya bilang ke teman, tidak perlu menunggu pemerintah. Tiap-tiap orang harus melakukan inisiatif sendiri dalam menjalankan kehidupan baru ini. Tidak mungkin pemerintah yang memutuskan satu persatu, masing-masing lini sector harus melakukan ini dan itu. Yang penting adalah disiplin terhadap protocol kesehatan covid 19.

Saya sempat bertanya kepada tukang cukur itu, berapa sehari orang yang dia cukur sebelum dan sesudah covid. Dia bilang biasanya perhari bisa mencapai 25 orang, tapi saat ini, 10 orang saja sudah sangat luar biasa. Tapi, baginya itu merupakan The Normal ketimbang dia harus tidak bekerja dan diam di rumah bersama istri dan anaknya menanti bantuan dari pemerintah, yang entah namanya termasuk atau tidak di dalam daftar yang diberikan bantuan tersebut.

Stay Healty, Stay Social Distancing, and Stay Creative!

Syukri Rahmatullah
Pamulang 17 Mei 2020

Blog di WordPress.com.

Atas ↑